
RADAR PURWOREJO PEREMPUAN Tangguh itu bernama Ratna Ulfatul Fuadiyah, 39, warga Perum Pepabri Borokulon, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo. Keberadaannya di tengah masyarakat laiknya sinar penerang.
Hal itu tidak terlepas dari profesinya sebagai penyuluh agama non ASN di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Purworejo. Alumni UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta Jurusan Tafsir Hadist Fakultas Ushuluddin 005 ini telah menyabet sejumlah penghargaan.
Di antaranya predikat Penyuluh Agama Islam Teladan Jateng 2018, dan Penyuluh Agama Islam Teladan Nasional 2019. Hingga saatnya ketangguhan ibu tiga anak ini diuji, sang suami almarhum (Alm) Taufiq Hidayat wafat 2016 akibat sakit yang dideritanya.
Almarhum Taufiq Hidayat berasal dari Mlangi Sleman Jogjakarta yang dikenal kuat dengan tradisi pesantren meninggalkan jalan dakwah yang dirintis bersama dan kini harus dilakoni sendiri oleh Umi Ratna.
Tentu saja seraya membesarkan ketiga buah hati Muhammad Zizadun Naja, 14, Safwa Adiba Zahwa, 11 dan Nasywa Muntaza, 5. “Saya menikah 2005, tinggal dua tahun di Jogja kami kemudian pindah ke Purworejo sejak 2007,” ucap perempuan kelahiran Malang 20 Desember 1981 ini.
Umi Ratna sapaan akrab Ratna Ulfatul Fuadiyah mengungkapkan, bersama sang suami mendirikan Majelis Taklim Wal Quran Nur Iman bagi warga yang menjadi santri dengan berbagai usia. Mulai usia dini, remaja hingga lansia.
Majelis taklim terus berkembang sampai sekarang dan terus menjadi tempat bagi masyarakat untuk menimba ilmu agama dan belajar ilmu tentang kehidupan. “Semangat mendirikan majelis taklim itu berangkat dari lingkungan kami rasa masih membutuhkan tempat belajar ilmu agama dan tempat bernaung anak-anak, remaja.Sejak saat itu saya terus memberikan semangat dan motivasi kepada masyarakat pentingnya ilmu agama, belajar Alquran, fikih, dan lainnya,” ungkapnya.
Dijelaskan, majelis taklim terus berkembang sampai sekarang dan anggotanya lebih dari 250 orang mulai anak-anak hingga lansia. Tidak hanya ilmu agama, para santri dan majelis taklim juga belajar pemberdayaan dengan berbagai kegiatan. “Di sini tidak hanya kegiatan agama atau pengajian, tetapi juga ekonomi atau kesenian,” jelasnya.
Seiring perjalanan, tidak hanya warga perumahan saja yang tertarik belajar agama di Majelis Taklim Wal Quran Nur Iman asuhan Umi Ratna. Warga luar perumahan mulai menitipkan atau mengamanahkan putra- putrinya.
Umi Ratna juga kerap diundang untuk mengisi pengajian di beberapa tempat di Purworejo dan luar Purworejo. Rumah beliau kini sudah semacam pondok pesantren. Siapapun boleh mengaji dan belajar Alquran, fikih agama dan apa saja yang berkaitan dengan kehidupan.”Sistem pembelajaran di sini tidak hanya agama, tetapi juga tentang ekonomi dan seni. Anak-anak kami bimbing dan sebagian juga ada anak yatim dan dhuafa, mereka gratis tinggal di sini. Beberapa kami sekolahkan secara formal, biaya dari kegiatan ekonomi para santri diantaranya dari hasil penjualan katering, sembako yang mereka dikelola sendiri,” tuturnya.
Majelis Taklim Wal Quran Nur Iman kini semakin besar dan bisa disebut sebagai pondok pesantren yang diupayakan untuk pengembangan spiritual dan pengembangan keterampilan perempuan mandiri. Sistem pembelajaran di alam atau lingkungan sekitar juga berjalan dengan apik.
“Kegiatan yang berkaitan dengan alam cukup disenangi. Anak-anak belajar menanam, sekaligus dikenalkan pentingnya menjaga lingkungan dengan pengelolaan sampah. Setiap yang datang mengaji diharuskan membawa sampah an organik untuk kemudian dikumpulkan ke bank sampah KWT di perumahan setempat,” katanya.
Pengelolaan sampah ternyata mampu menambah nilai ekonomi sendiri bagi para santri. Sementara belajar di alam dengan menanam tanaman organik juga menghasilkan satu lagi yang cukup menjadi perhatian publik adalah infaq produktif yang akhirnya menjadi solusi bagi masyarakat menghindar dari jeratan rentenir. “Santri yang tinggal menetap di sini ada 15 orang. Putri semua. Mereka berasal dari berbagai daerah, ada yang dari Wonosobo, Kebumen, Lampung, Riau dan sekitar Purworejo,” ujarnya.
Sebagai single parent, sambung Umi Ratna, bukan hal yang mudah. Ketika harus bersamaan menghadapi permasalahan yang ada di masyarakat, santri dan jamaah yang harus mendapat bimbingan. Terlebih ketika infaq produktif mulai diaktifkan dan harus berhadapan dengan oknum rentenir atau lintah darat. “Saya selalu tekankan kepada seluruh santri dan jama’ah, paling utama yakni mencari rezeki halal. Saya sebagai umat Islam, juga merasa wajib peduli dan membantu menguatkan saudara-suadara kita,” ucapnya.
Diceritakan, terkait infaq produktif tujuan utamanya agar masyarakat terhindar dari rentenir. Sebab banyak jamaah yang datang cerita terlilit hutang hingga ketakutan karena tidak mampu membayar cicilan. Ada yang didatangi debt collector (DC) karena telat cicilan, tidak punya uang, barang-barang di rumah dibawa dan mereka selalu dirundung ketakutan.
“Dalam benak saya, bagaimana mereka bisa tenang menjalani kehidupan jika seperti itu. Maka munculah infaq produktif ini yang jalan sejak 2018, teknisnya jamaah ibu-ibu setiap bulan mengumpulkan infaq minimal Rp 5 ribu per orang. Setelah terkumpul langsung dipinjamkan kepada yang sangat membutuhkan, bendahara tidak memegang uang,” jelasnya.
Peminjam mengangsur setiap bulan semampu mereka. Bulan berikutnya mereka mengumpulkan lagi. Di awal 2018 mampu terkumpul Rp 150 ribu dari 40 jamaah. Bulan berikutnya sudah bisa terkumpul lebih lagi, ditambah angsuran dari peminjam pertama. Begitu seterusnya di mana uang habis tanpa mengendap di bendahara.
“Sekarang sudah Rp 2,5 juta per bulan. Ternyata ini sangat efektif. Mereka yang pernah ketakutan berhadapan dengan rentenir, tidak berani pulang dan harus sembunyi menunggu sampai penagih pergi kini bisa menggunakan iruan itu, karena yang sudah terlanjur bisa lebih dari satu berurusan dengan bank plecit,” ujarnya.
Umi Ratna terus menegaskan, sebisa mungkin dapatkan rezeki secara halal untuk menghindar dari kesulitan hidup. Minimalisasi hutang dan hindari rentenir. “Saya tidak punya harta melimpah, tetapi saya ingin memberikan solusi kepada masyarakat untuk keluar dari permasalahan dengan cara yang ma’ruf,” tegasnya.
Menurutnya, dakwah banyak caranya, namun intinya sama yakni cara mendidik dan mendampingi masyarakat kejalan kebaikan, meningkatkan kualitas keagamaan bagi masing-masing pribadi, mengajak untuk berbuat baik dan memberi kemaslahatan bagi keluarga, lingkungan dan masyarakat luas.
“Keinginan almarhum suami yang belum terwujud sampai saat ini adalah mendirikan pusat pendidikan atau pondok pesantren formal. Saya masih merintis dengan pondok pesantren gratis ini. Nantinya untuk mewujudkan mimpi almarhum suami yang ingin mendirikan pendidikan formal,” katanya. (tom/din/er)
