Idolakan Jawa Pos sejak Kecil, Rasakan Beli Koran Patungan

Idolakan Jawa Pos sejak Kecil, Rasakan Beli Koran Patungan
Komandan Kodim 0708 Purworejo Letkol Infanteri Lukman Hakim saat menerima Tim Pengawas dan Evaluasi (Wasev) PPKM Mikro Covid-19 Kodam IV Diponegoro.

Radar Purworejo “Saya Letkol Infanteri Lukman Hakim S.Sos.,M.Si, Komandan Kodim 0708 Purworejo sangat mengapresiasi kehadiran Radar Purworejo (Jawa Pos Group). Jawa Pos adalah koran idola saya sejak kecil. Gaya bahasa yang ringan mengena, kolom-kolom inspiratif, menginspirasi dan memberikan ide-ide positif. Tetap berkreasi Radar Purworejo Jawa Pos Group jadilah ruang untuk karya-karya dan tokoh-tokoh hebat. Saya yakin, Radar Purworejo akan selalu ada di hati masyarakat Purworejo”

Pikiran jernih nan berurutan. Bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Meranah pengetahuan sejalan dengan pengertian. Memaknai informasi dengan penuh pemahaman. Begitulah sekilas pribadi Komandan Kodim 0708 Purworejo, Letkol Infanteri Lukman Hakim S.Sos.,M.Si.

Dia mantap memilih disiplin ilmu komunikasi untuk jenjang pendidikan S2/M.Si fasih diaplikasikan di lapangan dengan matang. Khatam memaknai komunikasi sebagai senjata terbaik yang dimiliki TNI.

Putra kedelapan dari 10 bersaudara pasangan (Alm) H Mustofa dan Siti Kudriyah ini begitu mudah disimak ketika bergumul dengan masyarakat sebagai bentuk pengabdian. Ia menyebut, TNI dan rakyat laiknya air dan ikan, dua komponen yang saling menghidupi. Genap enam bulan bertugas sebagai Dandim di Purworejo, dia merasa beruntung mengenal kota tenang bernama Purworejo yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar nasional.

Bicara komunikasi dan literasi, sosok kelahiran Bojonegoro 8 November 1971 ini mengaku memiliki kedekatan dengan koran Jawa Pos. Mungkin karena lahir dan di wilayah Jawa Timur yang cukup identik dengan media Jawa Pos. Terlepas dari itu, Letkol Infantri Lukman Hakim memang terkesan dengan sajian berita-berita Jawa Pos termasuk Radar Purworejo Jawa Pos Group di Kabupaten Purworejo.
“Dari dulu saya kenal koran ya Jawa Pos. Karena saya orang Bojonegoro, Jawa Timur. Jawa Pos saya kenal sebagai media yang mampu mewadahi semua informasi, menyampaikannya dengan gaya bahasa ringan tetapi mengena, kolom dan rubrik yang disajikan juga mengena, sejak saat itu saya suka,” ucapnya, kemarin (17/9).

Dulu saat masih duduk di bangku SMP, pada desarian tahun 1987-1988, dia harus rela beli patungan dengan teman-teman untuk mendapatkan koran Jawa Pos. “Dahulu, saluran informasi atau berita dari koran, berita di televisi masih terbatas. Kami biasanya beli patungan, cara membacanya kami bagi per halaman, masing-masing baca satu rubrik, ada yang baca halaman olahraga, politik, ekonomi, sastra. Setelah masing-masing membaca, biasanya kami bawa dalam obrolan yang seru,” jelasnya.

Membahas petinju Muhammad Ali akan bertanding melawan siapa, membahas karya sastra, seru lagi kalau edisi minggu, ada puisi, opini, cerpen dan cerita bersambung. “Setelah masing-masing mendapat bagian membaca halaman berapa, kami  bawa di meja obrolan untuk dibahas lebih mendalam. Sungguh itu sangat mengasikkan. Bahkan untuk isu yang menarik, tidak hanya habis sehari. Berlanjut menjadi bahan obrolan berhari-hari,” imbuhnya.

Menurutnya, media cetak memang memiliki kelebihan dalam segi trust (kepercayaan). Sebab harus melalui proses panjang, mulai peliputan di lapangan, masuk ke dapur redaksi dikoreksi redaktur, dikonfirmasi lagi jika ada yang kurang, dipertanggungjawabkan jika ada kesalahan. Tidak asal-asalan dan mencerahkan, minim hoax. Menurutnya seharusnya memang begitu. Media laiknya guru. Harus bisa mendidik dan mencerahkan. Dibuat dengan penuh tanggung jawab sebagai kontrol sosial juga untuk menyikapi semua kebijakan.
“Memberi ruang bagi karya-karya dan orang-orang hebat untuk terangkat dan terkenal. Tanpa ada kesan pribadi yang bersangkutan memaksakan diri untuk bisa dikenal,” ujarnya.
Hujan turun. Jarum jam menunjukkan pukul 11.00. Obrolan Radar Purworejo dengan Dandim 0708 Purworejo Kolonel Infantri Lukman Hakim berlanjut. Kali ini sosok Dr Aqua Dwipayana, S.I.Kom yang sempat hadir menjadi narasumber Sharing Komunikasi dan Motivasi di Kodim 0708 Purworejo menjadi bahan cerita.
Belakangan diketahui, sosok Dr Aqua Dwipayana ternyata sudah dikenal lama oleh Letkol Infantri Lukman Hakim. Bahkan jauh hari saat Dr Aqua sering menurunkan berita di halaman koran Jawa Pos. “Saya tahu beliau (Dr Aqua) sudah sejak dulu. Beliau setahu saya pernah menjadi wartawan di Jawa Pos. Gaya bahasanya sederhana namun pesannya tersampaikan dengan baik sekali. Tulisan beliau bahkan masih melekat sampai sekarang,” ucapnya.

Lukman Hakim menuturkan, sejak kecil sudah dilatih menjadi pribadi disiplin. Namun santai. Hidup mengalir apa adanya. Mudah menemukan teman-teman dan lingkungan yang seakan-akan seide dengan pemikirannya. Hal itu menebalkan keyakinannya, bahwa orang baik akan dipertemukan dengan orang baik, jalannya juga akan dimudahkan.

“Purworejo akan menjadi ladang pembuktian bagi saya. Entah saya mau memberikan apa untuk Purworejo. Tetapi seiring perjalanan waktu dan membaca situasi, saya mulai paham apa yang dialami dan dibutuhkan masyarakat. Saya sesuaikan dengan janji dan sumpah prajurit. Kami wajib hadir di tengah masyarakat dalam situasi apapun. “Sebatas fungsi dan tugas kami sebagai TNI tentunya,” tegasnya.

Melihat rekam jejaknya, sebelum menjabat sebagai Dandim 0708 Purworejo, Letkol Infantri Lukman Hakim pernah menjabat sebagai Katimlit dan Dalmatu Sdribinlitbang Akmil Mageleng selama 2 tahun. Ia juga menjadi dosen di Akmil. Sebelumnya juga pernah bertugas di Kalimantan Barat, hingga akhirnya kini ia harus menjabat sebagai Dandim 0708 Purworejo. “Saya tidak mengira akhirnya ditempatkan di sini (Purworejo, Red). Ini luar biasa. Purworejo banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional, dan saya ada di sini sekarang,” katanya.

Menurutnya, masyarakat Purworejo berbeda. Purworejo yang identik dengan kota pensiun penuh dengan ketenangan dan kedamaian. Masyarakatnya mudah diatur. Biasa berpikiran dewasa. Mudah berprasangka baik terhadap regulasi dan pimpinan. Suka mengedepankan pikiran dalam forum gendu-gendu roso dan tidak suka dengan anarkistis. “Ini yang membedakan Purworejo dengan daerah lain. Saya terus terang menikmatinya. Untuk itu saya minta berkahnya bisa amanah dan Purworejo bisa terus maju dan berkembang tanpa kehilangan jati diri,” harapnya.

Lukman Hakim dilahirkan dari keluarga agamis, bapaknya seorang kiai yang pandai berniaga. Bapaknya berjualan di pasar. Baginya dulu setiap hari bisa makan tiga kali itu sudah sangat bersyukur. “Kami  dididik kuat dan kreatif sejak kecil. Kami bersepuluh, tiga di antaranya menjadi TNI termasuk saya. Dua kakak saya juga TNI. Baru saja pensiun, yang satu pangkat Kolonel dan satu Brigjen semua berdinas di Jakarta,” kata suami dari Lestari Handiyaningsih ini.

Disinggung semangatnya menjadi TNI, Lukman Hakim mengaku terinspirasi dari saudaranya TNI. Dia lebih akrab menyebutnya Cak Sabeni. Dia menilai sosok Cak Sabeni itu luar biasa. Dia melihat pribadi TNI yang kuat dan disiplin dari Cak Sabeni. Selalu berpakaian rapi. Sejak saat itu dia ingin menjadi seperti Cak Sabeni. “Cak Sabeni juga seorang pribadi yang cerdas, termasuk cara mendidik anak-anaknya yang kini sudah sukses semua,” ucap ayah dari Liza Aldira Hafidza dan Levina Aurellia Hakim ini.

Setelah menjadi TNI, sambungnya, itu juga berkat kedisiplinan yang sudah diterapkan kedua orang tuanya. Sampai di titik ini, dia mulai membuktikannya sendiri. Menjadi TNI itu jati dirinya. Menjadi kehidupannya yang sebenarnya. “Kesempatan untuk berbuat bagi kemaslahatan orang banyak, sekarang saatnya, dan tidak akan saya sia-siakan,” ucapnya.

Ia selalu berdoa, dirinya dan seluruh anggota diberi kesehatan dan kekuatan untuk memberikan yang terbaik kepada negara dan bangsa khususnya Purworejo. Kuncinya harus bisa selalu dekat dengan rakyat, mendengar semua keluhannya, sinergi dengan para pengambil kebijakan di daerah dan teman-teman yang entengan (suka membantu,Red) dalam membersamai masyarakat.

“Jadi enak rasanya kalau dekat dengan rakyat. Semakin masuk kedalam ada kenikmatan tersendiri. Ada empati. Apa yang mereka rasakan bisa ikut merasakan,” ucapnya.

Disinggung soal hobi, Lukman Hakim ternyata lihai menyanyi. Kendati ia berangkat dari keluarga yang ketat dalam agama. Almarhum bapaknya  cukup ketat mendidik agama kepada anak-anaknya. Kadang dia tidak boleh musik-musikan. Dia pun harus mencuri-curi waktu untuk menyalurkan hobi. “Saya penggemar Ahmad Albar (God Bless). Satu waktu bapak pernah teriak, di rumah kok teriak-teriak, mbok ngaji. Kalau sudah begitu saya takut, sebab bapak tokoh karismatik dan memang menjadi panutan,” kenangnya.

Kelas 3 SMP dia sudah mulai gabung dengan grup musik lokal di Jawa Timur, selain menyalurkan bakat. Dia juga mendapat uang untuk mencoba mandiri, meskipun curi-curi waktu membujuk saudara agar bisa keluar untuk menyalurkan hobinya. Bakat yang dimiliki mengalir dari ibu, yang memang suka menyanyi bahasa Jepang kala itu.

Disinggung tentang komunikasi, Dandim menegaskan, komunikasi adalah kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial, meskipun hanya bahasa isyarat. “Jadi memang sudah saya niatkan, ambil S2 komunikasi. Saat menjadi dosen di Akmil saya juga tularkan kepada peserta didik, mereka yang akan menjadi tentara atau abdi negara, saya memotivasi. Jadi pendidikan doktrin kuat ilmu militer perlu diselingi dengan komunikasi yang mudah diterima, bahkan bisa dengan berkelakar hingga mereka responsif dan mudah untuk menyampaikan pesan dan ilmu,” ucapnya.

Ia juga merasakan hal sama ketika bertugas di Kalimantan Barat, mengajak anak-anak muda untuk diberikan gambaran apa yang bisa dilakukan untuk menatap masa depan, memberikan tantangan untuk membuka wawasan. Setelah tersadar dan tertarik maka ilmu bisa ditransfer dengan lebih mudah berikut pesan-pesan moral.

Saat menjabat sebagai Dandim 0708 Purworejo, tradisi serupa juga dibawa. Tepat di belakang rumah dinas juga ada tukang pijit, sopir angkot  mendulang ilmu dari sosok kharismatik ini. Mereka diberi pelajaran terkait psikologi, kesehatan jiwa dan ideologi, materi pelajaran bahkan dibuat sendiri, menggandakan materi di mesin fotokopi untuk diberikan sendiri.

“Menggarap soal dan saya kasih kunci jawabannya yang ternyata untuk memecahkan permasalahan itu bisa mudah. Saya hilangkan asumsi ketika mau jadi TNI hanya mengandalkan fisik yang kuat. Sebab psikologi juga harus bagus, ideologi juga harus kuat tidak terpengaruh paham ekstrim kiri dan kanan, begitulah seharusnya modal menjadi TNI,” tegasnya.

Dia tanamkan jiwa disiplin, hidup sederhana, bertanggung jawab atas dirinya. Makan tidak perlu mahal tetapi asupan gizinya seimbang. Cukup sayur lauk tempe dan sambal, diolah sendiri. Hindari jajan dengan kandungan MSG tinggi, semua dikontrol sendiri. Mereka sata suruh tinggal di sini, supaya tidak ada jarak, mereka cukup memanggil Dandim dengan sebutan Om Lukman.

“Setiap pukul 03.00 pagi saya bangunkan untuk salat dan berdoa. Setelah itu menjelang subuh saya keliling lagi. Saya salat lima waktu berjamaah. Harapannya minimal mereka tahu kemampuan dan masa depan yang akan dihadapi apa, sehingga sadar untuk mengejar ketertinggalan. Saya tidak memaksa mereka belajar, tetapi mereka sadar sendiri, seperti itu pendidikan yang saya terima dari orang tua saya,” katanya. (tom/din/er)

Lainnya