
RADAR PURWOREJO – Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo) Kabupaten Purworejo menggelar webinar dalam rangka menyambut Hari Jadi Ke-190 Kabupaten Purworejo. Webinar yang dikemas dalam kegiatan critical voice point (CVP) atau forum komunikasi publik itu mengangkat tema Perspektif Baru Sejarah Purworejo 190 Tahun Membangun.
Webinar kali ini terbilang cukup istimewa dengan menghadirkan pakar-pakar sejarah sebagai narasumber. Di antaranya, Prof Peter Carey, sejarawan professor emiritus di Trinity Collage, Oxford, Inggris. Dia juga sebagai adjunct professor di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Jakarta, yang selama ini fokus melakukan penelitian dan riset terkait sejarah Pangeran Diponegoro.
Ada pula Bambang Purwanto MA, guru besar sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta. Saat menjadi dosen muda pada 1994, dia terlibat langsung dalam diskusi sejarah Purworejo. Webinar dipandu Dr Sudibyo MHum, pengajar Fakultas Ilmu Budaya UGM Jogjakarta.
“Kegiatan seminar ini gelar secara virtual dan diikuti oleh seluruh elemen masyarakat Purworejo, forkompimda, akademisi, legislatif, tokoh masyarakat, pendidik mulai SD hingga SMA dan perguruan tinggi di Kabupaten Purworejo, termasuk seluruh camat, kepala desa. Bisa disiarkan global melalui laman Youtube,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinkominfo Kabupaten Purworejo Stephanus Aan kemarin (25/2).
Dijelaskan, webinar kali ini merupakan kegiatan yang diiniasi langsung bupati dan wakil bupati Purworejo dalam kesempatan tampung aspirasi masyarakat sebelumnya. Forum ini dibuat untuk menampung ide, gagasan, dan masukan dari seluruh elemen masyarakat. Nantinya semua akan dijadikan sebagai pertimbangan pengambilan kebijakan.
“Inti tema yang diangkat kali ini yakni bagaimana memaknai sejarah secara utuh, baik dari sisi waktu dan situasi saat itu, harapannya masyarakat memiliki prespektif yang benar untuk untuk pembangunan Purworejo ke depan. Webinar yang bisa diakses secara luas ini diharapkan lintas sejarah dan lintas dunia bisa bertemu untuk melihat sejarah Purworejo secara lebih mendalam,” jelasnya.
Ditambahkan, ada beberapa catatan yang dirangkum secara umum. Webinar ini diharapkan mampu membuka kembali wawasan budaya Bagelen yang menjadi salah satu perhatian pemerintah daerah saat ini. Banyak harta karun yang tersimpan seperti wayang Gagrak Bagelenan, corak batik, satsra, dan lainnya.
“Tindak lanjut memang menjadi penting. Jadi, mohon dukungannya. Mari kita kembali ke warisan budaya dan sejarah sebagai modal pembangunan. Pada prinsipnya, kami akan membuak ruang seluas-lusnya, pemkab tidak akan mampu mengerjakan itu sendiri,” ucapnya.
Dr Sudibyo menambahkan, diskusi daring terkait perspektif baru sejarah ini menjadi momen penting dan bersejarah bagi Purworejo. Antusiasme peserta menyiratkan gairah karena sejarah Purworejo memang perlu diangkat dalam diskusi yang serius.
“Momentum yang sangat berharga sekali kali tentunya karena forum ini kedatangan tamu istimewa, Prof Peter Carey yang dikenal sebagai sosok raksasa sejarah, gurunya para sejarawan baik di Indonesia dan global,” katanya.
Menurutnya, Peter Carey pernah beberapa kali datang langsung ke Purworejo untuk melakukan riset. “Seingat saya sudah genap tiga kali beliau datang dan bicara di Purworejo. Seorang pakar tentang sejarah Pangeran Diponegoro dan dalam buku yang lain juga mengenal sekali Purworejo, Bagelen, dan sekitarnya, sehingga sangat beralasan sekali jika forum ini menghadirkan beliau sebagai narasumber,” ujarnya.
Ditambahkan, seminar daring ini menjadi terobosan luar biasa sebagai jawaban atas situasi pandemi yang masih terjadi. Termasuk keterlibatan Prof Bambang Purwanto MA sebagai narasumber.
“Menyelesaikan pendidikan S2 dan S3 di Univerisity of London dan kini sudah menjadi guru besar sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM Jogjakarta. Pengalaman kerja dan buku, artikel dan tulisan beliau sangat banyak. Minat beliau adalah sejarah ekonomi Indonesia dan historiografi Asia Tenggara. Beliau juga memiliki darah Purworejo,” ucapnya. (tom/amd)
Sumbang Kearifan Lokal Indonesia
RADAR PURWOREJO – Critical Voive Point (CVP) dalam rangka Hari Jadi Ke-190 Kabupaten Purworejo kali ini terasa cukup berbeda. Prof Peter Carey yang hadir sebagai narasumber utama dalam seminar daring ini mengajak para peserta seminar daring untuk menyelami lebih dalam perjalanan sejarah Purworejo.
“Hampir lima puluh tahun saya bersentuhan dengan Purworejo. Pada Mei 1972 saya mendapat banyak dukungan dan kesempatan untuk memulai wawancara dan meneliti tentang Purworejo. Kegiatan ini juga sebuah terobosan untuk jauh lebih lanjut mengenai sejarah kabupaten yang sangat menarik sekali,” katanya.
Sesuai tema, sambung Peter, sejarah bupati Purworejo dari asal usul hingga warisan kolonial yang masih ada saat ini memang sangat penting untuk didiskusikan. Sebab, sejarah menjadi percuma jika tidak membahas masa depan.
“Sejarah adalah salah satu humaniora yang bisa menjadi pijakan untuk masa menentukan arah yang akan datang,” ujarnya.
Menurutnya, objektivitas didapat dengan cara menyaring apa yang bisa diterima dari sumber, kendati sejarawan juga tidak salah untuk menulis sejenis roman. Namun, harus mengerti periodisasi sejarah. Hal ini tidak hanya butuh intelektual tetapi juga emosi dan spiritual.
Objektivitas dan subjektivitas menjadi ranah pembaca. Itu menjadi tugas sejarawan untuk menjawab tantangan. Purworejo punya Bogowonto yang dalam perjalannya ada yang mampu mengembangkan tradisi mistik dengan sangat mahir sebut saja Kiai Sadrach.
Purworejo tidak untuk menjadi perwujudan kolonial. Tetapi, memang memiliki akar yang sangat dalam sekali. Purworejo, khususnya sejarawan, tidak hanya melihat kebelakan, tetapi juga harus menapak ke depan. Jadi, harus melihat sebagai sosok manusia untuk bertahan di bumi manusia itu.
“Purworejo memiliki sumbangan kearifan lokal sangat penting sekali dalam perjalanan Indonesia,” ujarnya.
Dilihat konteks Perang Jawa, sambung Peter Carey, orang Mataram di antaranya Bagelan dan Banyumas lebih kokoh meskipun itu dilihat dari kacamata Mataram sentris. Meskipun tidak ada pernyataan bahwa orang Bagelan setia mengikuti Pangeran Diponegoro, namun berbeda jika dibanding Madiun yang bagus diawal tetapi mudah hilang semangatnya.
“Namun bukti lain menyebutkan, Purworejo sudah muncul, bahkan sebelum Perang Jawa dimulai. Ada tanksi milter di Kedung Kebo pada 20 tahun awal abad 20. Juga terus berkembang menjadi pusat pendidikan dan transportasi. Bengkel lokomitif juga ada di Purworejo,” katanya.
Peter menyebut, semacam ada kerja sama antara bupati dengan instansi kolonial sehingga sebagian turis yang datang ke Purworejo akan mengatakan bahwa Purworejo kota yang kecil dan sangat baik dikelola menjadi salah satu tempat milisi. Bahkan, sistem Kristen Kejawen muncul di Purworejo. Pusat pendidikan modern sekelas HKS pun berdiri 15 tahun di Purworejo.
“Purworejo yang kecil mampu menyaingi Jogja sebagai pusat pendidikan utama, sebelum Indonesia merdeka,” ucapnya.
Belanda melihat Purworjeo sebagai kota yang apik. Kota yang tidak hanya berkembang begitu saja seperti Jakarta. Tetapi, berkembang dalam rencana karena semua direncanakan.
”Jika pemerintah daerah bisa belajar dari sejarah, maka warisan gedung dan kuliner menjadi atraksi,” paparnya.
Menurutnya, mungkin hal itu bisa membangkitkan industri seperti di Nepal. Bisa dibangun trak ke Menoreh yang dilengkapi dengan air terjun dan gua-gua. Ini semua adalah modal besar Purworejo dan itu jelas akan berbeda dengan area Kulonprogo.
“Jadi, apa aset yang dimiliki ketika sudah ditemukan, harus berkembang dalam sebuah bentuk yang mudah dipakai. Memang harus susah payah untuk mengembangkan. Dan, dan itu mungkin yang dilakukan bupati Purworejo I, II, III, dan IV,” ujarnya.
Pasca Perang Jawa juga sangat menarik di Purworejo. Setelah Pangeran Diponegoro diasingkan dan Perang Jawa selesai ada semacam arus mudik atau bedol desa di Purworejo. Bekas pengikut Diponegoro yang menjadi anggota resimen sekitar 700 pasukan ikut ke area selatan Pacitan, Trenggalek, dan Tulungagung di Jawa Timur.
“Pasca perang yang datang dari area Jogja dan Jateng selatan dan hal itu bisa dilihat di Malang misalnya. Ahli linguistik menyimak logat bahasa Jawa Malang logatnya masih sama dengan Jogja dan Kedu Selatan. Sementara utara lebih ke logat Madura. Jadi, bisa dipastikan andil besar Bagelan dan Banyumas tidak ketinggal,” tegasnya. (tom/amd)
