Sesuai Perpres Beroperasi Tahun Depan

Sesuai Perpres Beroperasi Tahun Depan
TERUS DIKERJAKAN: Pekerja terus melakukan aktivitas pembangunan Bendungan Bener yang meliputi Desa Bener, Karangsari, Kedungloteng, Nglaris, Limbangan, dan Guntur. (ISTIMEWA)

RADAR PURWOREJO – Proyek Bendungan Bener di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo diproyeksikan akan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia. Bendungan Bener ini kemudian masuk menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Perpres Nomor 56 Tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Total investasi bendungan ini mencapai Rp 2,06 Triliun. Penanggung jawab proyek ini yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Proyek mulai konstruksi pada 2018 dan rencana awal sudah bisa beroperasi di 2023. Bendungan ini dibangun dengan kapasitas 100,94 meter kubik.

Saat ini, proyek digarap oleh sejumlah perusahaan pelat merah. Mulai dari PT Waskita Karya (Persero) TBK, PT PP (Persero) TBK, dan PT Brantas Abipraya (Persero). Mereka menggarap masing-masing paket proyek yang didapat. Ya! pembangunan bendungan tertinggi kedua di Asia Tenggara itu dibagi menjadi empat paket.

Dua paket yang tengah dikerjakan diantaranya pembangunan Terowongan Pengelak (Diversion Tunnel), berfungsi sebagai konstruksi untuk mengelakkan aliran sungai dari hulu bendungan ke hilir bendungan selama masa konstruksi, pekerjaan ini dilakukan PT Brantas Abipraya (Persero).

Paket kedua adalah pembangunan spillway yang dikerjakan PT Waskita Karya KSO (Kerjasama) PT Jatiwangi. Spillway atau saluran pelimpah atau katup adalah struktur yang digunakan untuk menyediakan aliran yang terkendali dari bendungan atau tanggul ke daerah hilir. Biasanya menjadi sungai yang dibendung, saluran pelimpah melepas banjir sehingga air tidak melebihi dan merusak atau bahkan menghancurkan bendungan.

Sejak dimulainya pembangunan Bendungan Bener 2018 lalu, beragam kendala dan hambatan kerap mewarnainya. Mulai dari persoalan ganti rugi pembebasan lahan di tujuh desa terdampak, hingga penolakan pembangunan quarry di Desa Wadas yang akan dijadikan tambang batu andesit untuk material pembangunan bendungan.

Terkait uang ganti rugi lahan, sedikitnya ada 600 hektare lahan yang akan dibebaskan, terdiri dari sekitar 5.300 bidang lahan di kawasan daerah aliran sungai (DAS) Bogowonto dan sekitarnya untuk PSN Bendungan Bener. Peruntukannya meliputi kawasan tapak dan genangan bendungan, serta area sabuk hijau (green belt) yang memisahkan area bendungan dengan permukiman warga.

Hingga pertengahan November 2021, pemerintah telah melakukan pembayaran ganti rugi 2.809 bidang atau seluas 315 hektare dengan nilai Rp 641 Miliar. Sebanyak 1.167 bidang dengan nilai ganti rugi kesepakatan Rp 11 Miliar masih dalam proses pengajuan permohonan pembayaran. Peliknya permasalahan ganti rugi lahan ini, membuat warga terdampak bendungan yang sering dikenal dengan Paguyuban Masyarakat Terdampak Bendungan (Masterbend) terpaksa kerap melakukan aksi untuk percepatan pembayaran ganti rugi yang dijanjikan.

Seiring persoalan ganti rugi lahan yang belum tuntas ini, polemik pro kontra quarry di Desa Wadas juga menghangat sepanjang proses pembangunan Bendungan Bener. Dokumen Analisisi Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) pembangunan bendungan bener yang diterbitkan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) sebagai pelaksana proyek, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR. Februari 2018 menyebut Desa Wadas sebagai lokasi quarry atau batu andesit untuk material pembangunan Bendungan Bener.

Kontan hal itu memicu pro-kontra quarry di Desa Wadas yang membuat masyarakat Wadas terbelah dalam konflik horizontal. Sebagian warga setempat yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) menolak dengan alasan mempertahankan kelestarian hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Sementara sebagian lainnya setuju akan pembangunan quarry bahkan sejumlah warga pro quarry sudah menyetorkan data kepemilikan bidang tanah miliknya untuk diukur.

Konflik terkait pembangunan quarry di Desa Wadas, menyeret institusi Kepolisian ke dalamnya. Sebagai garda terdepan dalam menjaga ketertiban masyarakat, Polri (Polres Purworejo) bahkan sempat terlibat benturan dengan sejumlah warga kontra quarry pada 23 April 2021 silam. Tidak hanya sampai di situ, warga Desa Wadas yang menolak quarry merasa keberatan dengan patroli Polres Purworejo yang belakangan kerap menyambangai desa mereka.

Seperti buah simalakama. Patroli kepolisian di satu sisi diharapkan oleh warga pro quarry sekaligus ditolak oleh warga kontra penambangan karena dinilai sebagai bentuk intimidasi atau teror kepada warga. Sementara Polres Purworejo tetap meyakini, bahwa patroli yang dilakukan bukan untuk mengintimidasi warga kontra quarry. Kendati demikian, di lapangan tetap terjadi penghadana dan juga adu mulut dengan warga kontra penambangan yang menjaga titik titik persimpangan jalan desanya dengan mendirikan pos-pos.

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) Dwi Purwantoro menjelaskan, secara teknis penentuan lokasi Desa Wadas untuk pembangunan quarry sudah melalui kajian dan penelitian yang rigid. Terkait isu mengeringnya mata air, di Desa Wadas ada 24 titik mata air, dan hanya satu titik mata air di lahan calon quarry yang akan ditambang.

Satu titik mata air itu juga sudah diteliti dan tidak ada cekungan air tanah (CAT). Posisinya, mata air ada di sebelah kiri anak sungai Bogowonto atau Sungai Kodil dengan gugusan bukit yang berbeda semua sudah dipetakan secara geologi. “Itu yang menjadi isu sentral terkait mata air yang akan hilang, dan sudah diteliti cekungan atau tanah humusnya nanya 1-2 meter saja, 23 titik mata air lainnya ada di sebelah kanan Sungai Kodil,” jelasnya.

Ditambahkan, untuk teknis penggalian tidak akan menimbulkan lubang, trap satu penggalian di bukit hanya 33 meter, dan tidak akan menimbulkan cekungan di tanah. Setelah batuan diambil selanjutnya akan ditutup. Dari total 114 hektare lahan quarry yang akan dilakukan penggalian hanya digali 60 hektare, 54 hektare sisanya untuk menyimpan humus. “Jadi setelah diambil batu, humus akan dikembalikan dan ditanami lagi. Rencananya, setelah penggalian batuan andesit hasil galian bisa dikelola sebagai tempat wisata wisata dan itu finalnya dengan masyarakat,” ucapnya.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menegaskan, dengan kajian yang mendalam tersebut, melalui pertimbangan sangat teknis, pemilihan lokasi dilakukan dengan melibatkan pakar dan ahli. Deposit yang memungkinkan untuk mencukupi kebutuhan Bendungan Bener yakni di Desa wadas. “Tugas kami (pemerintah) menjelaskan data teknis ini agar diketahui masyarakat, tahapan demi tahapan ini penting untuk disampaikan, jika tidak, informasi yang tidak lengkap akan memunculkan persepsi yang berbeda-beda, pendekatan dialogis tetap kami kedepankan,” tegasnya.

Kepala BPN Jaten Dwi Purnama menambahkan, pihaknya melaksanakan tugas dengan mendasarkan ketentuan. Penetapan Lokasi (Penlok) Quarry Wadas juga berproses, bahkan pernah digugat kendati akhirnya ditolak. Selaku pelaksana yang menjalankan kegiatan inventarisasi dan identifikasi (pengukuran) dalam rangka untuk mengetahui jumlah luas setiap bidang tanah pemegang hak serta tanah tumbuh diatas lahan, dalam pelaksanaan di lapangan yang diukur adalah lahan warga yang setuju atau menerima.

Menurut dia, lahan warga yang belum menerima tidak akan disentuh. Pihaknya kemudian membentuk 10 tim terdiri dari 80 orang, tidak hanya petugas dari BPN, tetapi juga dari dinas pertanian untuk tanam tumbuh, pendamping dan pemilik lahan dengan estimasi target 200 bidang per hari. “Dengan jumlah bidang yang diukur maka dibutuhkan tiga hari untuk prosesnya,” ucapnya.

Diterangkan, apa yang dilakukan saat ini merupakan pelaksanaan hak masyarakat untuk mengetahui luas lahan dan tanam tumbuh, setelah itu baru diserahkan kepada tim appraisal independen sebelum kemudian sampai ke tahap penyerahan ganti untung yang diharap tidak merugikan. Setelah tugas itu tuntas sesuai regulasi baru masuk mekanisme pembayaran. “Jadi seolah-olah merampas atau mengambil alih tanah itu tidak ada, pengukuran dilakukan juga atas permintaan warga yang menerima, mereka memohon BPN minta segera melakukan pengukuran, dan itu juga hak warga,” ucapnya.

Menurutnya, pada 23 Januari 2021 silam, BPN pernah mencoba melakukan pengukuran, dan di lapangan ternyata terjadi penghadangan atau friksi antara petugas pengamanan dengan warga yang kontra atau menolak. “Pada 8 Februari 2022, BPN untuk bisa melaksanakan tugas meminta pengamanan proses pengukuran dalam rangka memberikan hak kepada warga yang sudah menerima dan minta diukur tanahnya,” ujarnya. (tom/din)

Lainnya