
MAGELANG, Radar Jogja – Perajin tahu dan tempe mengambil beberapa langkah antisipatif. Dari memperkecil ukuran produksi, hingga ikut menaikkan harga jual. Hal tersebut dilakukan guna menutup modal awal yang dikeluarkan serta meminimalisir adanya kerugian. Pasalnya, harga kedelai terus naik hingga Rp 11 ribu per kilogram.
Kenaikan harga tersebut dirasakan oleh Danang Santoso, pemilik usaha tahu di Kampung Trunan RT 04/RW 09, Kelurahan Tidar Selatan, Kota Magelang. Dia mengaku harus mengecilkan ukuran tahunya agar dapat mengembalikan modal awal. Saat harga kedelai normal di angka Rp 7 ribu hingga Rp 8 ribu per kilogram, modal awal yang diperlukan hanya berkisar Rp 100 ribuan. Namun saat ini, modalnya harus bertambah hingga Rp 70 ribu untuk sekali produksi. “Jadi, totalnya bisa sampai Rp 230 ribu dari awal pembuatan hingga bisa dipasarkan,” ucapnya saat ditemui di rumahnya kemarin (20/2).
Ukuran diperkecil, lanjutnya, karena harga bahan pokok lain ikut naik. Seperti minyak curah, garam, penyedap rasa, hingga soda kue. Untuk itu, dia berterus terang kepada konsumennya jika ukuran tahu diperkecil. “Kalau mau ukuran tetap, harganya naik. Kalau tidak, ya terpaksa diperkecil,” tutur Danang.
Meski demikian, Danang menyebut, produksi tahunya stabil sebanyak 12,5 kilogram per hari. Jumlah tersebut, dikatakan menghasilkan sekitar seribu tahu. “Tapi dengan kenaikan ini, sebisa mungkin bisa lebih dari seribu,” bebernya.
Sementara Siti Asmanah, perajin tahu di Mejing 4, RT 12/RW 04, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang juga merasakan hal yang sama. Namun dia memilih untuk menaikkan harga tahunya, ketimbang memperkecil ukurannya. Karena menurut, jika ukuran tahu dikecilkan, akan menyulitkannya. “Kalau dikecilin repot, sudah ada cetakannya. Mending dinaikin harganya, nanti pembeli ditambah potongan tahunya,” ujarnya.
Asmanah hanya memproduksi tahu untuk para penjual di pasar. Penjual juga bisa mengambil keuntungan dengan memperkecil ukuran tahu darinya. “Misalkan, kalau satu loyang dari saya biasanya dapat 40 potong, mereka bisa mengecilkanya jadi 44 potong,” ujar Asmanah.
Tak ayal, dia juga sering mendapat protes dari para pembeli lantaran harga tahu yang ikut naik. Selama pandemi pun, produksi tahunya menurun. Dari yang semula dua kuintal, jadi satu kuintal. Itu pun tergantung dari permintaan para pembeli.
Terkait adanya isu para perajin tempe dan tahu yang akan mogok produksi, dia hanya bisa mengikuti permintaan para pembelinya. “Kalau mereka tidak jualan di pasar, saya juga tida produksi,” ujarnya. (aya/eno/er)
