
RADAR JOGJA – Kambing bernama Lamusseto milik Suyanto, warga Desa Pandanrejo, Kecamatan Kaligesing, sudah ditawar Rp 200 juta tapi belum diberikan. Ini karena pemilik meminta harga Rp 300 juta.
Ya, Purworejo sangat identik dengan kambing kaligesing yang dulu disebut dengan kambing peranakan ettawa (PE). Penamaan ini disesuaikan dengan asal kambing tersebut dikembangkan, yakni Kecamatan Kaligesing.
Kambing ini telah ditetapkan sebagai rumpun kambing lokal Indonesia yang telah dibudidayakan secara turun temurun. Sehingga menjadi kekayaan sumber daya geneik ternak lokal Indonesia.
Ditetapkan sejak 2013 oleh Menteri Pertanian Siswono Yudhohusodo, kambing ini berkembang dengan baik di Kecamatan Kaligesing dan merembet ke beberapa kecamatan di Purworejo. Selain itu juga banyak dikembangkan di berbagai tempat di Indonesia, karena memiliki keunggulan khusus. Tak sedikit masyarakat yang memanfaatkan kambing itu untuk kelangenan, karena memiliki postur tubuh yang tinggi dan besar.
Desa Pandanrejo di Kecamatan Kaligesing sendiri hingga saat ini masih tetap menjadi sentra pengembangan kambing kaligesing. Bahkan Pemprov Jateng membangun satuan kerja (satker) Taman Ternak Kaligesing yang ditempatkan di Kecamatan Kaligesing.
Dalam satker ini selain untuk ajang pelestarian dan pengayaan informasi terhadap kambing kaligesing. Juga dimanfaatkan untuk pengembangan lebih jauh mengenai kambing itu, sehingga bisa menjadikan kambing ini memiliki nilai jual lain dari sekadar kambing.
Nilai jual kambing kaligesing sendiri yang memiliki postur tubuh tinggi besar dan gagah memang menjadikan orang sangat meminati kambing tersebut. Tak ayal jika nilai jualnya terkadang diluar nalar dan jauh dari nilai jual kambing biasa.
Kisaran angka belasan juta rupiah masih dinilai rendah. Karena ada kambing yang dijual dengan harga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Salah satunya kambing yang dimiliki Suyanto itu. “Saya baru bisa melepas kalau ada yang berani Rp 300 juta,” kata Suyanto (28/10).
Nilai yang ditetapkan untuk kambing itu memang sangat beralasan. Lamuseto sudah beberapa kali nangkring sebagai jawara dalam kontes kambing. Semakin banyak lomba yang diikuti dan menjadi juara, menjadi salah satu nilai untuk mendongkrak penjualan kambing itu.
“Untuk kambing kaligesing itu kan sering dilakukan lomba. Tidak hanya di seputaran Purworejo, tapi sudah kerap diadakan di luar provinsi,” ungkap Suyanto.
Ia mengaku dirinya memang menggantungkan kehidupan dari pembudidayaan kambing kaligesing. Itu sudah dilakukan sejak 2003 dan mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan lebih.
Tidak saja kambing yang sudah besar, anak kambing atau cempe saja sudah banyak yang memburu. Saat ini dia memiliki cempe yang baru berusia tiga bulan dan sudah ada yang menawar. “Tawaran paling tinggi baru di angka Rp 10 juta. Saya baru akan melepas kalau mau Rp 15 juta,” kata Suyanto yang memanfaatkan bagian belakang rumahnya untuk kandang kambing ini.
Dibawa Belanda dan Disebar di Tiga Provinsi
Kambing kaligesing yang berkembang sekarang dan berada di mana-mana, sejatinya berasal dari Kaligesing. Pembeli mengambil kambing dari Kecamatan Kaligesing untuk dikembangkan di tempat mereka berada.
Diakui dari beberapa wilayah, Jawa Timur memiliki populasi yang cukup baik. Mereka mengambil kambing dengan kualitas super untuk dikembangkan di wilayah sana.
Menilik jauh ke belakang, kemunculan kambing kaligesing ini melalui proses panjang. Yang berkembang sekarang merupakan proses kawin silang antara kambing yang dibawa Belanda di wilayah Pandanrejo.
Mantan Kades Pandanrejo Nyoto mengungkapkan, kedatangan kambing-kambing yang dibawa Belanda itu terjadi sekitar tahun 1927-1928. Kambing ini merupakan jenis yang dikembangkan di kawasan Teluk Benggala di Ottawa, India.
“Tapi di sini dulu populer dengan nama Ettawa. Dan sebenarnya dulu tidak disasar kepada kambingnya, tapi untuk diambil susunya,” jelas Nyoto.
Keperluan Belanda sendiri waktu itu adalah untuk meningkatkan imunitas dan kekuatan para petani yang sedang dikerjakan untuk membantu penanaman oleh Belanda. Kawasan itu menjadi salah satu sentra pengembangan beberapa jenis tanaman.
“Sebenarnya di Kaligesing ini ada tiga desa yang mendapat pasokan kambing itu. Selain Pandanrejo, masih ada Hulosobo dan Somongari. Tapi di dua desa itu tidak dikembangkan lebih jauh,” tambahnya.
Di wilayah Kaligesing menjadi pengembangan di Jawa Tengah. Karena Belanda juga mendatangkan juga di Jawa Timur dan Jawa Barat. Seperti halnya dua desa di Purworejo, kambing yang ada di Jatim dan Jabar itu juga punah.
“Di Pandanrejo ini masyarakat melakukan kawin silang dengan kambing bligon yang memiliki postur lebih besar. Jadi sebenarnya tidak semuanya langsung berbulu putih dengan kombinasi warna bulu kepala hitam,” ungkapnya.
Di Pandanrejo selama ini memiliki pasar khusus kambing kaligesing yang digelar setiap hari Sabtu. Orang menyebut pasar itu dengan Pasar Seton. Pasar ini menjadi pasaran kambing kaligesing berskala nasional. Tidak hanya didatangi pembeli dan penjual lokal saja, tapi sudah merambah ke berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Untuk menjaga kelestarian kambing itu, pemerintah desa tetap memegang kebijakan yang pernah dicetuskan Bupati Purworejo Gurnito ketika itu, dimana memiliki jargon 1 KK memiliki 2 kambing. “Jadi katakan di sini ada 1.000 KK, otomatis ada 2.000 kambing,” jelas Supandi. (udi/laz)
