Mengenal MGWD 1030, Pondok Pesantren Para Preman

Mengenal MGWD 1030, Pondok Pesantren Para Preman
BEDA DENGAN LAINNYA: Abah Dedi Al Maghribi saat memberikan pelajaran kepada para santrinya di Ponpes MGWD 1030, Karangtalun, Ngluwar, Kabupaten Magelang. RIZKY WAHYU/RADAR JOGJA

RADAR PURWOREJO – Pondok pesantren (ponpes) dengan santri berlatar belakang siswa atau pelajar/mahasiswa, sudah banyak. Tapi ponpes khusus menampung preman yang ingin taubat, mungkin bisa dihitung dengan jari. Salah satunya Ponpes MGWD (Majelis Gahwa Wa Dukhon) 1030 ini.

Ponpes MGWD 1030 ini terletak di Karangtalun, Ngluwar, Kabupaten Magelang. Ponpes ini diasuh oleh Dedi Al Maghribi atau lebih dikenal dengan panggilan Abah Dedi.

Abah Dedi menjelaskan, awal mula pondoknya beridiri tidak lepas dari perintah gurunya, pendiri MGWD Habib Hasan bin Abdul Qodir Alhadad. Dalam ponpes ini, terlihat tak jauh berbeda dengan pesantren pada umumnya.

Seluruh kegiatan fokus pada pendalaman agama Islam. Hanya saja, Abah Dedi mengemasnya dengan cara yang asyik melalui pendekatan non-formal.

“Metode pengajaran yang dipakai di sini tidak jauh berbeda dengan pelajaran yang saya terima di pusat, Desa Kraji, Bekasi Barat. Tidak kurang dan tidak lebih,” ujar Abah Dedi saat ditemui Radar Jogja kemarin (7/8).

Ia menceritakan awal bisa mendirikan pondok di Kabupaten Magelang, setelah gurunya mendapatkan isyarat agar Dedi dakwah di tempat itu. Ketika itu Dedi masih bekerja, namun disuruh keluar oleh gurunya untuk mendirikan pondok di Jawa, tepatnya di Karangtalun. “Jadi ini semata-mata bukan hanya kemauan Habib saja. Namun ada alasan di balik itu,” katanya.

Perjuangan awal Abah Dedi untuk membangun pondok terbilang tidak mudah. Saat menginjakkan tanah di Kabupaten Magelang, ia hanya berdakwah saja dan tidak boleh bekerja. Padahal dia dulu belum punya uang dan tempat tinggal tetap.

Padahal ketika itu Dedi telah memiliki tiga anak yang butuh biaya untuk hidup dan berikut pendidikannya. “Namun dengan keyakinan saya terhadap guru saya, alhamdulillah  semua kebutuhan itu bisa tercukupi,” ungkapnya.

Dikatakan, mengapa dikatakan pondok pesantren preman, karena awal saat ia hijrah dulu ia diajak oleh sepupunya takziah. Saat acara, Abah Dedi bercerita di sebelahnya duduk di antara tiga bangku ada seorang preman. Semua orang di daerah itu sudah tahu sepak terjang si preman tersebut.

Sampai-sampai sepupunya bilang kepadanya kalau itu adalah preman yang ditakuti. Namun, pandangan Abah Dedi berbeda dengan semua orang. Ia melihat preman adalah orang baik. Sebab, pada saat pas pacitan atau suguhan keluar, sang preman menawari untuk menikmatinya.

“Pada saat itu saya bilang ke saudara saya. Kalau dia bukan orang baik, tidak mungkin ia menawari saya untuk makan,”  ungkapnya.

Lalu, setelah acara tiba-tiba Abah Dedi mencium tangan preman tersebut. Dan, pada saat itu juga preman tersbeut berkata kepada Abah Dedi agar ia datang ke rumahnya. Tidak butuh waktu lama, selang beberapa hari ia langsung datang ke rumah preman itu.

“Preman itu bilang, Pak Kiai kenapa panjenengan cium tangan saya. Sedangkan saya itu bukan orang baik. Baru seumur hidup  tangan saya ini dicium. Pernyataan itu saya timpali. Gak mungkin sampeyan itu orang tidak baik. Dengan baik sangka saya ini, saya yakin ada satu perbuatan yang mana orang lain tidak bisa melakukannya,” jelas Abah Dedi.

Dan setelah itu preman itu berkata kepada Abah Dedi, pada suatu hari ada orang kecebur di Kali Progo dan di sana tidak ada orang yang berani menolong. Namun, hanya dia yang berani menolongnya.

“Padahal kita tahu saat preman itu menolong, taruhannya bisa mati. Nah dan setelahnya derajat preman itu terangkat dan mau ikut mengaji,”  ungkap Abah Dedi.

Ia menyampaikan kalau di pondoknya para santrinya lengkap. Namun, mayoritas yang kerasan hanya orang-orang yang belum baik. “Jadi kalau di tempat ini yang sudah pinter-pinter jangan di sini. Karena pasti tidak betah lama,” tegasnya.

Untuk metode pengajaran, Abah Dedi mengatakan santri-santrinya disuruh membuka kitab untuk dibaca. Namun dengan metode-metode ceramah yang ringan, namun tetap bersumber dari Alquran.

“Karena bagi saya pemahaman lebih penting daripada membaca. Jadi bagaimana bahasa kami ini tersampaikan dan tidak membuat pusing mereka. Kelas mereka ini bukan kelas pondok pesantren pada umumnya,” tuturnya.

Bagi Abah Dedi, setiap orang mempunyai fitrah yang baik atau suci. Jadi bagaimana caranya kita harus memandang orang dengan baik sangka.

“Di sini dari dulu banyak datang dan pergi sampai sekarang. Di sini ada yang kaya sampai yang miskin. Ada yang waras sampai yang gak waras,” bebernya.

Selain berorientasi membantu preman kembali ke kehidupan yang lebih baik, pesantrennya juga mengasuh warga yang ingin sembuh dari penyakit kejiwaan.

“Orang penyakit jiwa itu adalah suatu kelebihan. Yang mana di saat dia dikurangkan akalnya sama Allah, namun mereka dilebihkan di dalam batinnya. Dan di situ yang sering tidak terbaca oleh kita,” lanjutnya.

Menurutnya, para santri belajarnya hanya yang ringan-ringan saja. Tidak yang berat-berat. Sebab orang walaupun sudah dewasa pemahamannya tidak sama semua.

“Di sini metodenya seperti ada kopi ya disuruh ngopi. Ada rokok ya disuruh ngrokok, ada makanan disuruh makan. Sedikit demi sedikit kami ajarkan pemahaman soal agama, ya mengalir lah,” katanya.

Banyak orang yang ingin menyantri di pondoknya. Seperti salah seorang dari Magelang, Jali. Mantan preman ini mengaku kalau datang di pondoknya Abah Dedi seperti menemukan ketenangan batin tersendiri. Ia pun mengaku mendapatkan banyak teman yang bisa saling merangkul dan tidak membedakan satu dengan yang lainnya.

Santri yang lain, Parjiman, seorang pekerja serabutan asal Wirobrajan, Jogja, mengaku kaget saat awal di pondoknya Abah Dedi. Pada awal dulu ia melihat santri-santrinya kayak preman semua. Pakaiannya bebas dan tidak seperti santri pada umumnya.

Ia sudah sejak 2015 belajar dengan Abah Dedi.  “Kaget dulu awalnya di sini, kok tidak kayak pondok pesantren pada umumnya,”  kata Parjiman.

Selama ikut Abah Dedi, Parjiman mengaku sering bertukar cerita dengan teman-temannya dan tidak pernah membaca kitab. Namun, menurutnya, yang ditekankan oleh Abah Dedi soal keyakinan dan kebersihan hati. “Betah di sini. Hati saya sudah cocok,” tandasnya. (laz)

Lainnya