
RADAR PURWOREJO – Dugaan penyimpangan dana pendidikan muncul di Kabupaten Purworejo. Penyimpangan diduga terjadi dalam Realisasi Pembelanjaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Afirmasi Kabupaten Purworejo Tahun 2020. Kasusnya ini, bahkan, dikabarkan sudah ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Purworejo.
Ada beberapa isu yang santer beredar di masyarakat dan dunia pendidikan. Di antaranya, adanya dugaan pengkondisian proses pengadaan barang untuk seratusan sekolah dasar (SD) dan sejumlah sekolah menengah pertama (SMP) penerima BOS afirmasi. Pengkondisian disertai pembahasan soal cashback atau fee untuk para kepala sekolah (SD).
Kejanggalan muncul ketika harga barang tinggi. Selain itu, terjadi ketidaksesuaian spesifikasi barang yang diterima sekolah-sekolah.
Sejumlah pihak yang diduga terkait dipanggil menjalani pemeriksaan. Di antaranya, Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) Purworejo selaku rekanan pengadaan barang, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dindikpora) Kabupaten Purworejo, dan sejumlah kepala sekolah penerima BOS afirmasi.
Berdasarkan penelusuran media di lapangan, beberapa kepala sekolah yang sekolahnya disinyalir menerima bantuan dari pemerintah pusat itu enggan memberikan keterangan. Hanya ada seorang kepsek SD negeri berinisial T bersedia buka suara.
T mengakui sekolahnya dan beberapa sekolah lain di wilayah kecamatan yang sama menerima BOS afirmasi tahun 2020. Nilainya Rp 60 juta.
Terkait dugaan penyimpangan yang santer diisukan, pihaknya membenarkan. “Dari awal SD kami dapat bantuan BOS afirmasi beberapa kali. Cuma sebelumnya waktu itu pembelanjaannya belum sebebas sekarang. Tahun 2019 menyesuaikan dengan kebutuhan sekolah,” ucapnya, Jumat (16/4).
Disebutkan, pembelanjaan BOS afirmasi berawal dari adanya penawaran yang diberikan Direktur PDAU Didik Prasetya Adi di Gedung Wanita Purworejo. Saat itu semua sekolah penerima bantuan hadir. Dalam kesempatan itu, Kepala Dindikpora Kabupaten Purworejo Sukmo Widi Harwanto juga datang.
Hingga akhirnya ditemukan kejanggalan terkait harga, ketidaksesuaian spek barang, hingga cash back. Dia memutuskan untuk membatalkan pesanan alias mundur. Namun, sejumlah sekolah lain masih tetap bertahan.
“Yang membuat kami memutuskan tidak ikut PDAU karena selisihnya terlalu banyak,” ucapnya.
Menurutnya, dugaan penyimpangan dalam kasus ini hingga akhirnya menjadi temuan Kejari Purworejo membuat sejumlah kepsek dipanggil kejari untuk dimintai keterangan. Beberapa kepsek yang telah menerima cashback telah diminta untuk mengembalikan atau menitipkan dana tersebut di kejari.
“Kalau nominalnya saya tidak paham,” ujarnya. (tom/amd)
Usut Tuntas, Kepsek Hanya Korban
Ketua Perangkat Organisasi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Kabupaten Purworejo Suherman membenarkan dugaan penyimpangan terkait BOS afirmasi tengah ditangani Kejari Purworejo. Sedikitnya ada 97 sekolah dasar dari sekitar 130 SD penerima BOS afirmasi dan sekitar 3 SMP yang melakukan pembelanjaan lewat PDAU.
Dari pembelanjaan sejumlah sekolah itu, muncul beragam persoalan. Di antaraya, ketidaksesuaian barang yang dipesan melalui aplikasi SIPLah dengan barang yang diterima, harga tidak wajar, hingga adanya barang second atau bekas.
“Temuan kejaksaan, salah satunya itu barangnya tidak sesuai spek. Bahkan, ada barang yang harganya tidak masuk akal. Kesimpulannya, diperkirakan yang pesan di PDAU itu, dan ada ketidakcocokan harga itu, cukup banyak,” ucap Suherman saat dikonfirmasi sejumlah media di kediamannya di wilayah Kecamatan Bener Sabtu (17/4).
Ada pula persoalan cashback atau fee yang diterima kepsek. Jumlahnya tujuh persen dari nilai yang dibelanjakan. Namun, para kepsek yang terlanjur menerima fee sudah diminta untuk menitipkan dana yang sempat diterima sebagai barang bukti di kantor Kejari Purworejo.
“Kami LKBH PGRI juga heran, kenapa kok bisa sebanyak ini yang belanja di PDAU. Kalau 97 sekolah kok menyatu dalam satu titik. Pasti ada apa-apanya,” ujarnya.
Suherman menegaskan, LKBH PGRI telah melakukan komunikasi dengan seluruh kepsek terkait dan berkomitmen melakukan pendampingan. Dia berharap kejari dapat melakukan pengusutan tuntas atas persoalan tersebut.
Dari laporan ataupun pengakuan kepsek SD yang diterima LKBH dapat disimpulkan para kepsek tersebut tidak bersalah. Mereka hanya menjadi korban ulah oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Oleh sebab itu, sekali lagi kami minta kejari untuk usut tuntas kasus ini, supaya masyarakat tahu siapa dalang di balik ini. Perlu diketahui, akibat kasus ini dunia pendidikan telah dipermalukan dan kegiatan belajar-mengajar menjadi terganggu,” tegasnya. (tom/amd)
