
ISU pilkada kembali menyita perhatian publik, yang kali ini lebih tertuju kepada kandidat politik. Sebab, yang membuat sebagian masyarakat Indonesia gempar adalah pengusungan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wali Kota di Pilkada Solo 2020, mengingat dirinya adalah anak presiden. Gibran dikabarkan berhasil mengalahkan saingan internalnya, Achmad Purnomo, dalam mendapatkan tiket restu PDIP.
Alih-alih apresiasi, nampaknya yang diperoleh Gibran malah kritikan pedas dari berbagai pihak. Banyak pihak menganggap sikap politik Gibran kurang etis, lantaran belum memiliki track record politik yang kurang kuat, belum mengikuti kaderisasi partai secara bertahap, dan seolah-seolah mencatut nama “anak presiden”. Selain itu, momen pendaftaran Gibran bertepatan dengan tengah berlangsungnya kepemimpinan Jokowi sebagai presiden. Yang membuat ruang publik semakin riuh.
Jelas, langkah yang diambil Gibran ini membuat masyarakat geram, lantaran keduanya ‘terlihat sedang bekerja sama’ dalam membangun dinasti politik. Hal ini dibuktikan dengan tawaran jabatan di pemerintahan pusat, yang diberikan oleh Jokowi kepada Purnomo, setelah wakil wali kota itu mengikhlaskan kekalahannya melawan Gibran.
Tidak hanya pilkada di Solo saja, ternyata bakal perhelatan politik di daerah lain juga rawan dengan dinasti politik. Salah satu pilkada yang subur dengan dinasti politik ada di Tangsel, lantaran terjadi perebutan kekuasaan antar dinasti politik. Sebab, semua kandidat Wali Kota Tangsel, terikat dengan dinasti politik. Mulai dari Siti Nur Azizah, yakni putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Rahayu Saraswati, keponakan Prabowo Subianto. Hingga Pilar Saga Ichsan, kerabat Ratu Atut.
Selain Tangsel, menurut Ketua MPR Bambang Soesatyo, secara garis besar terdapat 117 daerah yang berpotensi memiliki kekuatan dinasti politik. Masifnya dinasti politik ini, menurut pakar politik dari Universitas Trunojoyo Surokim Abdussalam, dikarenakan dinasti politik masih menjadi tren di Indonesia.
Permasalahan utama yang menyebabkan meluasnya dinasti politik adalah pembatalan pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang larangan dinasti politik oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia.
Mereka yang membatalkan ini memberikan alasan bahwa dinasti politik sah-sah saja terjadi, ketika kandidat memiliki kompetensi politik yang baik, kendati berafiliasi (secara keluarga) dengan seorang pemimpin politik formal. Jelas argumen ini keliru, karena menjadi pintu pertama terbukanya praktik politik yang kurang baik.
Sebab kelemahan produk hukum ini menjadi celah yang dimanfaatkan oleh aktor politik, untuk melanggengkan kekuasaannya dengan memasukkan sanak keluarganya ke dalam kancah politik. Dengan memanfaatkan kekuatan modal, posisi dalam partai, dan jejaring yang kuat, tentu hal ini tidak mustahil dilakukan oleh aktor yang bersangkutan.
Dinasti politik yang masif sangat efektif, menurut Surokim, ketika para tokoh yang menjadi pengendali utama dalam kekerabatan itu masih beredar dan eksis. Sehingga imbasnya, dinasti politik akan mencoba mempertahankan kekuasaan di daerah pilkada. Malah dampak panjangnya, status quo bakal terus dijaga hingga tidak ada oposisi.
Gerakan dinasti politik yang sudah mengakar kuat dan bercabang, tak ayal menimbulkan bahaya yang signifikan kepada birokrasi ataupun masyarakat. Secara garis besar, terdapat dua dampak negatif yang disebabkan oleh dinasti politik. Pertama, dinasti politik menutup celah terwujudnya good governance.
Hal ini sesuai dengan pendapat Putnam (1976), bahwa dinasti politik mengakibatkan perluasan penyakit birokrasi seperti favoritisme, patronasi, kronisme, dan nepotisme. Kontrol sosial politik untuk pengawasan birokrasi akan sulit dilakukan. Pemerataan kesejahteraan masyarakat juga bakal susah terjadi.
Kedua, dinasti politik menutup peluang menciptakan pemimpin yang berkualitas, menutup rekrutmen politik untuk orang-orang di luar dinasti, dan menimbulkan ketidaksetaraan dinasti politik. Hal ini dikarenakan aktor dinasti politik memiliki sumber daya ekonomi lebih untuk melanggengkan kekuasaannya.
Berkaca pada potensi kerugian yang disebabkan oleh dinasti politik, maka sudah semestinya kita mulai bergerak untuk menguranginya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan literasi politik masyarakat. Hal ini selaras degan pendapat Presiden Lembaga Swadaya Masyarakat Lumbung Informasi Rakyat (LSM LIRA), yang menyatakan bahwa dinasti politik dapat dihambat dengan meningkatkan literasi politik masyarakat agar memilih kandidat yang bekompeten, bukan yang hanya populer.
Sebelumnya, definisi dari literasi politik sendiri adalah aktivitas sosialisasi informasi disertai diskusi mengenai persoalan-persoalan yang berhubungan dengan politik untuk melahirkan pribadi yang melek politik sehingga menjadi warga negara yang kritis dalam memandang politik dan kekuasaan (Yuliyanto, 2018).
Dengan demikian, warga negara yang memiliki literasi politik yang baik, dapat mengenal jernih konsekuensi dari kandidat politik yang dipilihnya, apakah merugikan dirinya atau tidak. Alhasil, warga negara bakal mampu menganalisis kandidat politik berdasarkan kompetensi kandidat, partai politik yang mengusungnya, dan visi misi kandidat. Sehingga mereka dengan sendirinya, akan menepis kehadiran dinasti politik.
Maka dari itu, merujuk studi oleh Putri (2017) yang berjudul Dampak Literasi Politik terhadap Partisipasi Pemilih dalam Pemilu, setidaknya ada tiga program literasi politik yang bisa dilakukan. Pertama, mendata dan menganalisis berbagai isu politik kontemporer di daerah pilkada. Dengan demikian, masyarakat dapat mengenal permasalahan yang tengah dihadapinya secara kritis. Sehingga nantinya ketika pilkada berlangsung, masyarakat tahu calon mana yang mewakili “curhatan” mereka.
Kedua, melakukan pendidikan politik yang materinya mencakupi politik secara keseluruhan. Hal ini dilakukan agar terciptanya masyarakat yang kritis dengan segala perkembangan politik, sehingga mampu mengenali kandidat kepala daerah dengan baik. Terakhir, hasil pendataan dan pendidikan politik (dua langkah sebelumnya), disebar ke masyarakat luas melalui media massa cetak dan media online. (ila)
*Penulis adalah Mahasiswa Teknik Fisika UGM dan menjabat sebagai redaktur di Gebrak Gorontalo.
