
Radar Purworejo Dolalak sangat familiar di Bumi Berirama. Dolalak dikenal sebagai tarian yang diadopsi dari gerak dansa para serdadu Belanda.
Anak-anak jenjang sekolah dasar mampu menarikan tarian. Hal tersebut tecermin dari gelaran menari dolalak masal di Alun-Alun Purworejo pada 2019. Lebih lima ribu penari serempak menarikan dolalak.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Dinparbud) Purworejo Agung Pranoto mengatakan, dolalak sudah dicatatkan sebagai warisan budaya tak benda yang diterbitkan oleh Kemenetrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tari ini dinilai memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri dibandingkan tari lainnya.
“Sudah banyak momentum pementasan yang dilakukan. Dari yang durasi panjang, sekarang bisa dikemas menjadi paket tari yang menarik dan membuat orang terpesona,” kata Agung kepada Radar Purworejo Jumat (27/11).
Ditelusur dari sejarah, Agung menyebut, asal mula kesenian dolalak adalah akulturasi budaya Barat (Belanda) dengan Timur (Jawa). Waktu itu, di era Hinda Belanda, Purworejo menjadi salah satu tempat pelatihan serdadu. Tentara yang dilatih tidak hanya berasal dari Purworejo. Ada tentara dari berbagai daerah. Selama menjalani pelatihan mereka harus tinggal di tangsi.
“Dari penuturan yang pernah kami rekam, ketika hidup di tangsi tersebut, mereka membuang kebosanan mereka menari dan menyanyi saat malam hari. Ada pula yang melakukan pencak silat dan dansa,” jelas Agung.
Gerakan dan lagu yang menarik kemudian menjadi inspirasi pengembangan kesenian yang sudah ada yaitu rebana (kemprang) dari tiga pemuda adal Dukuh Sejiwan, Desa Trirejo, Kecamatan Loano. Mereka yaitu Rejo Taruno, Duliyat, dan Ronodimejo.
Ketiga orang tersebut membentuk grup kesenian. Tentunya, bersama dengan warga yang juga pernah menjadi serdadu Belanda
“Awalnya pertunjukan kesenian tersebut tidak diiringi instrumen. Namun, dengan lagu-lagu vokal yang dinyanyikan silih berganti oleh para penari atau secara koor,” ungkapnya.
Dolalak berkembang. Dolalak digemari masyarakat. Kemudian, dalam pertunjukan, kesenian ini diberi iringan dengan lagu-lagu tangsi yang terasa dominan dengan notasi do-la-la. ”Dalam proses perkembangannya, dari pengaruh zaman dan kondisi kemasyarakatan serta penyajiannya maka kesenian ini kemudian menjadi dolalak,” kata Agung.
Busana yang dikenakan penari dolalak terpengaruh nuansa pakaian serdadu Belanda. Ini dapat dilihat dari baju lengan panjang dan celana tanggung berwarna gelap. Ada pula pangkat atau rumbai di bahu dan dada. Tak ketinggalan topi pet dan kaca mata hitam.
Sampur atau selendang dipergunakan sebagai pelengkap busana. Sampur biasa dsipakai orang Jawa saat menari.
Penyebaran tari dolalak dimulai dari Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Dolalak biasanya disajikan semalam suntuk dengan durasi 4 hingga 6 jam.
Gelaran dolalak membutuhkan tempat yang luas karena melibatkan banyak penari. Ada beberapa jenis tarian yang dibedakan dengan syair lagu yang berjumlah 20 sampai 60 lagu. Tiap pergantian lagu, penari dolalak berhenti sesaat sehingga ada jeda tiap ragam geraknya.
Seiring perkembangan waktu, decade 1980-an ada pergeseran penari. Kaum lelaki yang biasanya menjadi penyaji utama digantikan kaum perempuan. Adanya pergeseran ini seakan menjawab kebutuhan pasar untuk pemenuhan hiburan.
“Sempat ada booming dengan penari perempuan ini. Di mana, banyak muncul grup-grup kesenian dolalak di berbagai daerah di Purworejo,” katanya. (udi/amd/er)
